-Kesuksesan dan keberhasilan itu hanya soal waktu. tapi sekarang adalah soal cara, soal mengisi dan soal aplikasi-

Monday, March 14, 2011

Mahasiswa "Autis"



Kawan, kalian pernah mendengar orang mengatakatan bahwa internet obat segala penyakit pendidikan? Percayalah, jangan terlalu percaya dengan internet, apalagi jika dikaitkan dengan pembelajaran. Bagaimana bisa demikian? Salah satu potensi buruk penggunaan internet dalam praksis pendidikan adalah mengarah pada masyarakat yang monokultur, yakni ketika hampir semua orang mengakses informasi dengan menggunakan kata kunci tertentu melalui mesin pencari Google, yang tentunya akan terjadi kondisi di mana semua orang mendapatkan informasi yang sama. Ini adalah paradoks yang terjadi di tengah hadirnya internet yang menawarkan seabreg keragaman informasi.
Monokultur tersebut akan berbuah pada mono-knowledge karena sumber informasi dan pengetahuannya sama. Maka jangan terlalu kaget apabila ada mahasiswa atau dosen mudah melakukan plagiat dari sumber yang sama. Dengan pengetahuan yang sama tersebut, maka internet justru menjadi kontraproduktif dengan tujuan digunakannya internet dalam pendidikan. tidak peduli betapa cepat dan banyak informasi bisa diakses via internet, namun yang lebih penting adalah informasi apakah itu? Nilai-nilai, kultur dan ideologi apakah yang diakses tersebut? Pengetahuan apakah yang dipelajari, pribadi macam apakah yang terbentuk setelah mengkonsumsi informasi-informasi dan pengetahuan via internet tersebut?
Masalah di atas sepertinya bukan hal baru yang anda dengar. Hal yang lumayan lucu bagi saya, internet seringkali membuat penggunanya menjadi “autis”. Internet seringkali menimbulkan problem psikologis dan sosial. Misalnya dengan melihat praktik pembelajaran di internet, kemudahan yang ditawarkan, maka mahasiswa seringkali menjadi lebih merasa nyaman dengan dunia internet ketimbang dunia kehidupan nyata mereka sehari-hari. Mereka menjadi “autis” dalam interaksi keseharian. Mereka menjadi lebih merasa memiliki ikatan emosional dengan tema-teman mereka di jejaring pertemanan Facebook, ketimbang dengan tetangga dan masyarakat tempat mereka tinggal. Dengan kata lain, mereka kemudian berjarak dengan realita sosio-kultural yang terjadi di sekitar mereka. Hal-hal itulah yang seringkali tidak banyak diperhatikan oleh para pendidik dalam pertimbangan dan praktik pembelajaran berbasis ICT, terutama internet.
Singkatnya, dampak lain dari kecanduan internet adalah penyakit “autis” yang baru-baru ini saya rasakan. Pernah seorang teman curhat kepada saya betapa dongkolnya ia ketika berada di tengah-tengah mahasiswa yang sedang hotspotan di kampus. Ia merasa dicuekin. Penyakit tersebut dapat menyerang siapa saja yang doyan online. Gejalanya dapat dirasakan jika sedang berkumpul dengan kawan anda yang sedang hotspotan di kampus. Maka saran saya adalah, jangan sekali-kali anda mengajak ngobrol orang yang sedang online di depan laptopnya. Karena bisa jadi dia sudah terjangkit penyakit “autis”. Sekian.