-Kesuksesan dan keberhasilan itu hanya soal waktu. tapi sekarang adalah soal cara, soal mengisi dan soal aplikasi-

Sunday, September 27, 2009

Paling Indah di Makkah

Sore itu, seorang pria kurus datang menghampiri rumahku dengan langkah tergopoh-gopoh pelan, amat pelan. Keringatnya bercucuran seakan semua keringatnya dikeluarkan. Pria itu adalah seorang pria yang setahun lalu mengalami kecelakaan dahsyat hingga hampir-hampir merenggut nyawanya, namun untung saja dia hanya mengalami koma beberapa bulan, ya..beberapa bulan saja. Dengan langkah yang memaksakan diri, dengan keinginan kuatnya ia datang menemuiku dan keluargaku untuk bersilaturrahmi setelah sekian lama ia terbaring di Rumah Sakit.
Aku persilahkan ia masuk, duduk dan menikmati hidangan yang disajikan. Aku perhatikan ia sedikit berbeda, ups..bukan sedikit tapi banyak perbedaan. Baik fisik maupun psikologisnya. Amat berbeda.
Perbincangan pun dimulai, mulailah kami bercakap-cakap. Dengan wajah serius tapi lucu ia paparkan kejadian yang dulu hampir merengut nyawanya, kecelakaan motor setahun yang lalu. Ia ceritakan, ia nasehati dan ia sarankan agar supaya aku sentiasa berhati-hati jangan sampai mengalami hal yang sama. “sudah 200 juta rupiah melayang hanya untuk biaya pengobatanku luk, tapi aku bersukur masih bisa hidup” begitu ungkapnya.
Tiba-tiba disela-sela pembicaraan ia berucap “urip paling enak Cuma ono ning mekkah (hidup paling enak berada di makkah)”,
aku heran, karena setahuku ia tidak pernah menginjakan kaki di makkah, apalagi menghirup oksigen disana. Dengan nada polos dan sedikit menaikkan alis mata aku bertanya kepadanya “maksudnya?, bukankan anda belum pernah kesana??” ia menjawab “itu dia masalahnya, aku bermimpi, tapi aku yakin sedang tidak bermimpi, aku pernah kesana Luk” ia menceritan pada saat terbaring koma beberapa bulan di Rumah Sakit ia sempat mengalami perjalanan spiritual yang amat berkesan baginya, begitu nyata dan begitu terasa hingga ia mengulang perkataannya kalau ia sedang tidak bermimpi..!!!
dengan detail ia menceritakan bahwa ia berkunjung kesuatu tempat yang amat indah, indahnya tak dapat digambarkan. Bangunan tinggi menjulang begitu megahnya, taman-taman bunga yang berkilau, burung-burung hijau yang menari di pepohonan, suara angin amat pelan terdengar disana, tidak ada keributan dan hiruk-pikuk seperti di dunia. Dengan heran ia bertanya kepada penjaga rumah yang ada disana dengan sigap penjaga rumah tadi menjawab hanya dengan memberi isyarat agar jangan berisik, tanpa kata-kata menempelkan jari telunjukanya dikedua bibirnya. Sekian lama ia diam barulah penjaga rumah tadi berucap dengan nada yang amat pelan seakan-akan ia takut kalau sang penghuni rumah terganggu karena ucapannya, ia bekata “bapak, rumah siapakah ini? Indah sekali rumahnya” “inilah rumah penghuni surga “
sejak pertemuan dengan sang penjaga rumah mulailah ia suka dengan kehidupan disana, hingga berkali-kali ia mengatakan “urip paling enak cuma ono ning mekkah”.
Berjalanlah ia ke sebuah tampat yang lain dimana tempat ini sangat berbeda dengan yang tadi, tempat yang menyeramkan, panas dan bisa membuat bulu kuduk merinding. Bagaimana ia bisa merinding?ya..karena yang ia lihat adalah para manusia yang tak berdaging, hanya tulang yang terbungkus kulit dan kemana-mana ia memakai kalung besi segitiga yang menyala-nyala. Mengerikan, sungguh mengerikan!!
Tak kuat dengan apa yang ia lihat, ia pun bertanya kepada salah seorang penjaga disana “bapak, siapakah orang itu?” “itu adalah orang yang di dunia selalu bermaksiat” jawab sang penjaga.
Ngeri melihat pemandangan yang begitu menyiksa, ia pun kembali menelusuri tempat yang lain. Ia melihat kerumunan manusia disebuah padang yang amat luas, ia mengira itu adalah makkah. Jutaan orang berkumpul disana dengan berbagai warna baju masing-masing.
Lalu tibalah ia disebuah jalan yang menurun, jalan yang amat panjang dan lurus dan disamping kanan-kirinya tidak ada apa-apa. Sebuah tikungan kecil disamping kanan ia lihat setelah sekian lama berjalan, diikutinya tikungan kanan itu dan ia terperanjat melihat sebuah bagunan yang tepat di depan bangunan itu ada tiga buah tong yang amat besar tiga buah tong itu masing-masing bertuliskan angka 30, 45, dan 70. Kembali ia bertanya kepada penjaga rumah apa guna tong-tong besar itu dan apa maksud dari angka-angka yang tertera di tong. Sang penjaga rumah menjawab “Tong 30 adalah untuk orang-orang yang amalan di dunia biasa-biasa saja, Tong 45 adalah untuk orang-orang yang lebih baik, dan Tong 70 adalah khusus untuk orang-orang shaleh yang banyak beramal”
Mendengar jawaban itu ia begitu terkejut dan ia ungkapkan ingin tinggal disana untuk selama-lamanya, di tempat yang ia kira sebagai makkah……...
Begitulah perjalanan spiritual seorang penjual rongsok di Jakarta yang mengalami kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya. Perjalanan yang ia dapat sewaktu terbaring koma di Rumah Sakit. Sejak saat itu ia selalu bilang kepadaku…”urip paling enak Cuma ono ning mekkah”