-Kesuksesan dan keberhasilan itu hanya soal waktu. tapi sekarang adalah soal cara, soal mengisi dan soal aplikasi-

Friday, April 17, 2009

teman kecilku

baru saja berakhir
hujan di sore ini
menyisakan keajaiban
kilauan indahnya pelangi

tak pernah terlewatkan
dan tetap mengaguminya
kesempatan seperti ini
tak akan bisa dibeli

bersamamu kuhabiskan waktu
senang bisa mengenal dirimu
rasanya semuanya begitu sempurna
sayang untuk mengakhirinya

(lagunya indah, jadi teringat kalian, kawanku, kawan kecilku...)

Saturday, April 4, 2009

Bohong

Konon seiring dengan perkembangan zaman yang begitu pesat, terciptalah alat pendeteksi kebohongan. Dengan sesnsor supercermat dan supersensitive pada alat tersebut, dapat diketahui orang tersebut sedang bohong atau tidak.
Pastilah soal kebohongan ini adalah persoalan yang cukup serius hingga perlu diciptakan alat pendeteksi kebohongan. Berawal dari sebuah kebohongan, bisa jadi runyamlah sebuah keluarga. Atau dalam skala yang lebih besar bisa sampai menyababkan buramnya sejarah sebuah bangsa akibat pembelokan sejarah, gara-gara cerita bohong.

Sebenarnya ada apa sebenarnya dengan kebohongan?
Baiklah. Kita awali dengan mengerti makna kata bohong. Bohong dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) berarti tidak sesuai dengan hal (keadaan dsb) yang sebenarnya.
Lantas apakah kita selamanya harus berkata benar? adakah saat-saat tertentu yang membolehkan kita berbohong?
Jika ditinjau dari maknanya, tentu bohong tidak boleh dilakukan karena jelas, wong kejadiannya begini kok dikatakan begitu. Itu namanya menyesatkan. Tapi bagaimana jika keadaan tidak memungkinkan kita untuk berkata benar? Artinya, keadaan yang benar-benar darurat, harus bohong. Jika tidak berbohong justru berbahaya. Maka munculah apa yang disebut retorika, seni berkata-kata. Bohong sih, tapi sebenarnya tidak bohong.
Seorang guru saya penah bercerita bahwa ada seorang kakek yang menyelamatkan pemuda dengan ”seni bohong”. Dikisahkan bahwa seorang pemuda yang kita sepakati dulu tidak bersalah lho- sedang dikejar-kejar hendak dibunuh oleh sekelompok orang. Pemuda itu lantas meminta bantuan kepada si kakek untuk bersembunyi di rumah kakek itu. Saat orang-ornag yang mengejar tersebut bertanya kepada si kakek, apakah melihat seorang pemuda yang berlari? Kakek tersebut lantas bergeser beberapa senti dari tempat berdiri dan menjawab “sejak aku berdiri disini, aku tak melihat seorang pun yang lewat di depanku” maka selamatlah si pemuda.
Apa yang dilakukan si kakek adalah seni berkata-kata, ia tidak berbohong. Seandainya pun pada saat itu si kakek berbohong, tindakan itu tetap bisa dibenarkan karena memang keadaan darurat, demi menyelamatkan seseorang yang tidak bersalah
Yang kemudian menjadi soal,
apakah kondisi jaman sudah begitu “darurat”, memasuki jaman edan-edanan, sing ora edan bisa dadi edan tenan, sehingga harus ada seabrek kebohongan?
Terlapas dari itu ada sebuah cerita menarik mengenai paradoks kebohongan.
Pada abad ke-6 SM, dari pulau kreta Yunani, seorang penduduk Yunani mengatakan, ”semua penduduk Yunani adalah pembohong”. Apakah ia mengatakan kebenaran? Jika benar semua penduduk Yunani adalah pembohong, maka dirinya juga pembohong, sehingga kata-kata “semua penduduk Yunani adalah pembohong” adalah pernyataan bohong. Maka tidak benar bahwa semua penduduk Yunani adalah pembohong; dan seterusnya.
Teramat banyak kebohogan sekaligus kebenaran bergencatan saling tumpang tindih di sekitar kita. Begitu rumit dan berbelit-belit dalam memahami sebuah kebohongan. Batas antara kebohongan dan kebenaran menjadi sangat rancu.
Terkadang kita masih belum dapat memahami bahwa sebenarnya kita sedang berbohong atau berkata benar.